Selamat Datang, Blog Kecil ini hanya berisi coretan-coretan kecil tentang study saya di Jurusan Perbandinan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta

Perkembangan Agama Hindu-Budha antara Abad ke-8 -10 M

artefak peninggalan Majapahit


Hingga saat ini belum ada penjelasan yang memuaskan perihal perkembangan sejarah politik dan kebudayaan setelah keruntuhan Kerajaan Tarumanagara di Jawa bagian barat hingga berdirinya Kerajaan mataram Kuno di Jawa bagian tengah. Berita mengenai perkembangan agama baru di dapatkan dalam uraian prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, sebenarnya telah ada secara samar dapat diketahui pemujaan terhadapa dewa-dewa Hindu Trimurti lewat ungkapan prasati Tuk Mas berasal dari sekitar tahun 700 M. dalam prasati tersebut dinyatakan bahwa terdapat mata air yang jernih  dan dapat menghapus noda dan dosa sebagaimana halnya air sungai gangga. Selain itu pada prasati yang sama juga digambarkan adanya berbagai benda-benda (laksana) yang biasanya dipegang oleh dewa-dewa Trimurti ( Brahma, Visnu dan Siva). Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa Hindu Trimurti telah dikenal oleh penduduk Jawa Kuno masa itu. Sanjaya sebagai raja Mataram pada waktu itu memerintahkan untuk mendirikan lingga dibukit Sthirangga, dengan menyatakan segala pujaan kepada Siva dalam 3 bait, sedangkan bagi Brahma dan Visnu masing-masing hanya dimuliakan 1 bait saja.
Prasasti Canggal ditemukan di Bukit Gunung  Wukir, dipuncak bukit itu sampai sekarang masih terdapat runtuhan bangunan candi Hindu Saiva yang khas Jawa. Runtuhan tersebut memperlihatkan adanya 1 candi induk dengan 3 candi pervara yang dibangun didepannya saling berhadapan. Dengan penataan seperti itu banyak juga dijumpai diwilayah Jawa bagiwn tengah antara lain; Candi Sambisari, Kedulan, Morangan dan Merak.
Pada periode yang bersamaan, di tlatah Jawa Timur pun berdiri Kerajaan Kanjuruhan. Berita ini didapatkan dari satu-satunya prasati yang bertarikh 760 M. prasasti Diyono, ditemukan dekat Candi Badut yang dihubungkan dengan kerajaan ini. Arsitekturnya memang menunjukkan gaya bangunan candi tua. Pada candi Diyono ini dinyatakan bahwa Raja Gajayana yang juga disebut Limwa adalah pengganti Raja Dewasimha. Gajayanamendirikan tempat suci bagi Agastya (salah satu tokoh Sapta-Rsi, murid-murid utama Siva) arcanya yang semula dari kayu cendana diganti dengan arca batu hitam.
Ilustrasi
Terdiri dari 1 candi induk dengan 3 candi Pervara di hadapannya
Dikelilingi oleh pagar dan candi induk berada ditengah halaman
Pagara keliling dapat lebih dari satu lapis


Perkembangan agama Budha diwilayah Jawa tengah berdasarkan bukti-bukti tertulisnya dari prasasti Kalasan 700 Saka/ 778 M.  dalam prasati itu diuraikan adanya pemujaan terhadap sakti Budha, yaitu Tara, dan didirikan bangunan suci khusus untuk memukanya yang dinamakan Tarabhavanam.
Antara abad ke-8 – 10 M, agama budha didirikan untuk memuliakan Panca Tathagata dan juga Dhyani Bhoddhisattva lainnya. Candi Borobudur (Panca Tathagata sebagai dewata yang dimuliakan, sebab di candi tersebut digambarkan kelima wujud Tathagata dan peletakkannya yang sesuai dengan arah mata angin), Pawon, dan Mendut (yang terdapat 3 arca monolit yang menggambarkan tokoh Sidarta Gautama yang diapit oleh  Dhyani Bhoddhisattva  Avalokitesvara di kanan dan Dhyani Bhoddhisattva Vajrapani dikirinya dan dalam bilik candi terdapat banyak relung parsvadewata)dahulu merupakan bangunan suci yang mempunyai latar belakang keagamaan yang sama.
Candi lainnya yang dahulu diduga biliknya diisi oleh arca-arca Panca Tathagata adalah candi Ngawen di Muntilan, terdiri atas bangunan menghadap ke timur. Dibilik candi Ngawen II sekarang, terdapat arca Ratnasambhava yanga kepalanya telah terpenggal. Perkembangan Budha Mahayana juga mengedepankan pemujaan terhadap tokoh Dhyani Bodhisattva Manjusri. Hal ini dapat diketahui melalui prasasti Manjusrigrha 729 M, ditemukan di halaman percandian Sewu. Demikian dapat diketahui bahwa nama asli percandian Sewu adalah Vajrasanamanjusrigrha tokoh dalam prasasti yang disetarakan dengan Triratna kemudian yang identik dengan trimurti. Selanjutnya muncul pendapat yang menyatakan bahwa pada abad ke-18 M uapaya “koalisi” antar agama Budha Mahayana dan Hindu-Saiva sebenarnya sudah terlihat, upaya itu kemudian jelas terlihat pada periode berikutnya terutama era Majapahit dan Singasari.
Dalam periode yang hamper bersamaan dengan pembangunan candi d wilayah Jawa Tengah, mungkin disusun pula kitab Jawa Kuno yang berisikan ajaran keagamaan Budha Mahayana; Sanghyang Kamahayanikan (SHK) uraiannya berkesesuaian dengan penggambaran arsitektur, relief, dan arca-arca di candi Borobudur terutama tercermin pada bagian kaki candi tertutup yang dihias dengan pahatan relief cerita Mahakarmavibhangga ajaran yang sama juga tertera pada bagian tubuhcandi (tingkat I-VI) yang dipahatkan beberapa relief cerita yang berasal dari sutra-sutra tertentu; Avadana, Jatakamala dan Lalitavistara . di candi ini juga dapat dikenali adanya visualisasi dari ajaran Yogacara(sebagaimana yang tertera pada SHK) dalam bentuk relief cerita Gandavyuha dan Bhadracari yang terpahat di dinding candi dan pagar langkan (balustrade). Ajaran aliran filsafat Yogacara tersebut sangat terletak pada posisi yang penting, karena pada prinsipnya ajaran ini menonjolkan praktik yoga untuk memperoleh pengetahuan tertinggi (jnana)yang merupakan pembuka jalan untuk mencapai kebudhaan. Reliefnya mengambil narasi dari perjalanan dalam pengembaraan Sudhana dalam melakukan yoga dibawah bimbingan Samantabhadra yang pada akhirnya berhasil mencapai pengetahuan dan kebenaran tertinggi (Magetsari 2000: 44)  
Perkembangan agama budha antara abad ke-10 -12 M sangat terbatas datanya, suatu temuan penting didapatkan dari daerah nganjuk, yaitu sejumlah besar arca-arca perunggu kecil yang berasala dari susunan Panteon Vajradhatu-mandala. Ada yang berwujud Tara, Bhoddhisattva, dan juga Tathagata. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa sebelum pemujaan terhadap panteon Budha sebagaimana yang telah dikenal pada masasebelumnya masih tetap berlanjut. Diwiliayah Kediri sampai sekarang masih terdapat adanya goa pertapaan buatan “Goa Selamangleng” dengan ragam hias yang terdapat di dalamnya, goa itu diperkirakan sezaman dengan pemandian kuno Jalatunda ( sekitar akhir abad ke-10 M). di dalamnya juga terdapat ruang yang cukup gelap sehingga sangat mungkin di masa silam goa itu dipakai oleh para bhiksu atau kaum agamawan budha untuk meditasi, napas agama budha diketahui akibat adanya penggambaran relief tinggi (achala) tokoh Tathagata Amitabha pada salah satu ruangannya.
Perkembangan agama budha Mahayana dalam masa selanjutnya pada zaman Dharmawangsa Tguh, Airlangga, hingga era kerajaa-kerajaan Janggala dan Panjalu(Kadiri), masih belum dapat di ketahui secara baik, karena selain data arkeologi yang terbatas dan sumber-sumber tertulis yang dapat membantu mengungkpakan perkara itu juga terbatas pula. Kemudian baru didapatkan kembali saat zaman kerajaan Singasari dan Majapahit yang kemudian menggambarkan kembali agama budha .
 
Dikutip dari; Sejarah Kebudayaan Indonesia

Leave a Reply