Selamat Datang, Blog Kecil ini hanya berisi coretan-coretan kecil tentang study saya di Jurusan Perbandinan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta

SENI PERTUNJUKAN ZAMAN HINDU-BUDHA

Konsep Dasar Estetika Hindu

Dalam estetika hindu, konsep kuncinya adalah apa yang disebut ‘rasa’. Pengertian pokoknya adalah hadirnya kesesuaian antara bentuk ungkapan baik verbal, visual, ataupun kinetic dengan idea tau tema yang diwakilinya. Dengan melalui ‘saluran’ yang telah disepakati lebih dulu dalam konteks dan budaya yang yang bersangkutan yang telah dikenal bersama.
Dalam seni pertunjukan, seperti halnya dalam seni sastra dan rupa, kaidah-kaidah kesenian hindu memperlihatkan pengaruhnya yang jelas terhadap peninggalan-peninggalannya dimasa hindu-budha seperti dapat dilihat pada berbagai peninggalan budayayang orientasi karya seninya kebanyakan adalah seni keagamaan . namun terlihat juga seperti pada episode Jawa Tengah (abad ke-7 – abad ke-10) ketika kedua agama itu masih memperlihatkan keterpisahannya yang jelas tetapi disisi lain dalam hal teknik dan gaya bangunan beserta seni arca dan hiasnya begitu memperlihatkan kesatuan. Dari fakta ini apat disimpulkan bahwa terjadi pengambilalihan kaidah dari hindu ke budha. Dugaan ini didasari oleh kenyataan bahwa kitab-kitab petunjuk teknis pembuatan sarana-sarana keagamaanyang dikenali hingga kini adalah yang berlatar belakang hindu. Sebagai contoh dapat disebutkan pada berbagai kitab Silpasastra dan Vastuvidya (petunjuk pembuatan bangunan), kitab-kitab agama tentang talamana (mengenai proporsi arca berbagai jenis tokoh), maupun kitab Natyasastra (petunjuk teater dan seni) beserta kitab-kitab komentarnya dan petunjuk puitipika seperti Kavyadarsabeserta komentar-komentarnya. Dan sudah tentunya untuk pengarah simboliknya, berkenaan dengan tema pokoknya dipakai sumber dari agama budha sendiri misalnya mengenai simbolik stupa dan ikonografi budha.

Pada seluruh cabang seni hindu-budha seperti terungkap bahwa terdapat suatu konsep sentral yang mendasari seluruhnya, yaitu konsep ‘rasa’ adalah tujuan pengungkapan si seniman maupun inti dari penyerapan yang dicari oleh penikmat. Rasa itu akan tercapai apabila ada pertemuan antarabentuk yang diungkapkan dan tema suatu karya. Dalam dramatic klasik India dikenal adanya Sembilan rasa yang dilandasi oleh Sembilan bhava (mood, suasana perasaan) adalah sebagai berikut:
Srnggara (cinta)
Bhayanaka (ketakutan)
Hasya (jenaka, tawa)
Bibhatsa (kemuakan)
Soka (kesedihan)
Jugupsa (keheranan)
Raudra (kemarahan)
Santa (ketenangan)
Vira ( semangat)

TEKNIK DAN GAYA

Variasi dan Zaman Wilayah

Zaman hindu-budha dibagi kedalam periode-periode dan juga berkembang dalam cakupan wilayah masing-masing yang mempunyai kekhasan dalam ungkapan budayanya. Semisal dari segi kewilayahan dapat dikategorikan pada Sumatra bagian utara, Sumatra bagian tengah (minang dan riau), Sumatra bagian selatan (jambi-lampung), kalbar, kaltim, Jawa barat, Jawa tengah, jawa timur, Bali, dan Sumbawa.dari segi periodesasi, pembedaan yang memperlihatkan perbedaan ragam ungkapan seni pertunjukan hanyala pada periode jawa tengah yang relief tariannya memperlihatkan cirri teknik india klasik yang kuat, dan jawa timur yang memperlihatkan kesesuaiannya dengan aspek-aspek tertentu dari kaidah seni pertunjukan wayang.
Variasi berdasar golongan social
Seringkali dapat terjelaskan bahwa pertunjukan tertentu dilangsungkan dilingkungan sisoal tertentu (Sedyawati, 1982). Diantaranya terdapat pertunjukan dikalangan rakyat dan dikalangan kaum bangsawan. Dibedakan pula teknik gerak yang diperlihatkan oleh pemain jalanan yang menari diatas tanah dan teknik gerak sesuaikaidah klasik India oleh penari berkostum raya yang menari diantas pentas.

Fungsi seni pertunjukan

Masa hindu-budha meninggalkan sejumlah data mengenai fungsi pertunjukan berupa relief candi, teks prasati, maupun teks karya sastra. Karya sastra pun menyajikan sejumlah penceritaan tentang adanya ungkapan-ungkapan seni pertunjukan dalam jenis-jenis peristiwa tertentu.
Salah satu fungsi nyata dari seni ini adalah sebagai pelengkap upacara contoh pada upacara penetapan sima yang dilakukan didesa dan dilindungi raja, dimana salahsatu bagian penutup dari upacara berupa tarian bersama, berkeliling yang dilakukan oleh para pemuka desa pria dan wanita.
Fungsi lain lagi adalah pelengkap pendidikan, terutama tersirat pada teks-teks susastra tertentu dimana dikatakan bahwa betapa tokoh-tokoh utama cerita khususnya dari kalangan bangsawan pandai menari (Hayam Wuruk, dalam Nagarakertagama), pandai memainkan wayang (Wangbang Wideya), maupun menyanyikan lagu-lagu (putra-putri dalam Smaradahana) yang kesemuaannya itu menyiratkan bahwa kemampuan berekspresi dalam bentuk-bentuk seni pertunjukan itu adalah bagian dari pendidikan bagi seorang yang berkelas social tinggi.
Ada juga sebagai pencarian nafkah dan hiburan semata.
Dalam hal pertunjukan teater tradisi baik di Jawa maupun Bali terlihat pengaruh yang mata kuat dari cerita-cerita epos hindu yakni Mahabarata dan Ramayana. Dalam hal ini pula terlihat kontinuitas yang amat kuatdan bahkan mengalami perkembangan versi. Maka garis kontinuitas dan diskontinuitas itu dapat dilihat dalam relasi antar sumber dalam tiga tahapan prosesual :
Dari local pra-hindu-budha ke masa budaya dengan kejayaan hindu-budha
Dari masa hindu-budha awal ke masa hindu-budha akhir
Dari masa hindu-budha ke masa pasca hindu-budha

One Response so far.

  1. Unknown says:

    mantab, informasi yang sangat menarik
    jangan lupa, kunjungi dan kirim tulisan/artikel tentang seni ke www.teaterpetass.com

Leave a Reply