Selamat Datang, Blog Kecil ini hanya berisi coretan-coretan kecil tentang study saya di Jurusan Perbandinan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta

AKSARA

Para ilmuwan masa lalu berpendapat bahwa tulisan yang dimiliki suatu bangsa adalah bukti tingginya suatu peradaban bangsa tersebut, bangsa yang tak memiliki bahasa dinilai relative rendah dalam taraf budayanya. Namun, terungkapnya bangsa yang berperadaban tinggi tanpa memiliki tulisan atau tanpa mempunyai tulisan, pendapat tersebut tak dapat dipertahankan lagi.
Menurut sebagian besar ahli linguistik bahasa merupakan milik manusia sejak ia dilahirkan. Pendapat ini didukung oleh kenyataan bahwa hingga kini tidak ditemukan suatu bangsa atau kelompok manusia yang tak memilki bahasa, karena merupakan suatu kebutuhan begitu ada kehidupan bersama. Tidak hanya itu saja:… bahasa memungkinkan pengenalan diri, pemikiran dan perenungan, yang berarti pengembangan dan peningkatan diri.

AKSARA DALAM PRASASTI

Dikawasan Asia Selatan dan Tenggara prasasti merupakan kesaksian tertulis sejarah paling awal dari perjalanan bangsa-bangsa. Sebelum ada bukti dalam aksara tersebut kepastian historis peristiwa masih merupakan dugaan misalnya legenda-legenda yang merujuk pada kejadian masa lalu tetapi sulit diverifikasi kebenarannya.

AKSARA PALLAWA


Pengenalan dan penguasaan aksara pertama kali diperoleh Indonesia melalui melalui sentuhan budaya dengan India yang semasa dinasti pallawa menguasai wilayah-wilayah tertentu di Asia Tenggara. Sejumlah prasastinya pun diterbitkan oleh dinasti Pallawa ini. Sebelum itu sudah ada alur perniagaan antara Asia Tenggara dan Cina disatu pihak dan dengan India dilain pihak. Meskipun adanya hubungan itu sejak lama bukti material yang mutakhir baru memastikannya dalambentuk pecahan tanah liat bertulisan Brahmi di Bali yang dapat dipastikan berasal dari 150 SM-200 M. penemuan cetakan nekara perunggu tipe Dongson dari Vietnam utara menetapkan hubungan antara kedua daerah itu pada waktu yang jauh lebih dini sekitar 500 SM, karena dikurun waktu itu Nekara tipe tersebut beredar luas di kepulauan Nusantara (Hunter, 1996:3) juga diperkirakan bahwa para pedagang Nusantara dapat ikut serta dalam hubungan perdagangan ini karena telah mengenal tulisan (Kumar, 1996:XIX).

Bukti yang paling dini tentang peristiwa sejarah Indonesia adalah prasasti yupa di Kutai peninggalan raja Mulawarman kira-kira 400 M yang berbahasa Sanskerta dalam huruf yang kini disebut Pallawa awal Asia Tenggara, suatu kurun waktu keaksaraan yang mencakup prasasti Ciaruteun dari Punawarman, raja Tarumanegara di Jawa Barat dan juga prasasti Vo-Canh di Vietnam (Kumar, 1996:XV).
Aksara India yan berinduk pada aksara Brahmi merupakan system tanda yang mewakili suku kata atau silabe (silabari).

Para ahli bahasa India sudah mengamati bahwa satuan bahasa terkecil yang terucapkan adalah suku kata atau silabe, dan kata sanskerta aksara memang berarti silabe (Gonda, 1973:138). Dari system inilah sebagian besar bentuk dan system aksara di Indonesia dikembangkan.
Tipe perkembangan aksara yang lebih mutakhir mulai pada sekitar abad ke-7 M disebut Pallawa akhir dan digunakan dala prasasti-prasasti Sriwijaya yang ditemukan di sekitar Palembang (683 M), Jambi (684 M) dan Bangka (686 M). berbeda dengan prasasti yupa, prasasti dalam aksara Pallawa akhir ini ditulis dalam bahasa pribumi (Melayu kuno).
Disamping prasasti Sriwijaya, yang menggunakan tipe aksara yang sama ialah prasasti Canggal di Kedu 723 M tetapi masih berbahasa sanskerta. Penggunaan bahasa pribumi menggantikan bahasa Sanskerta merupakan suatu kemajuan dibidang intelektual yang melibatkan penyesuaian system tulisan asing kepada system bunyi bahasa sendiri sehingga menjadi milik bangsa.

AKSARA PASCA-PALLAWA

System-sistem aksara yang kemudian berkembang disebut Pasca-Pallawa secara umum atau Jawa Kuno, Sunda Kuno,Bali Kuno, Melayu Kuno dsb. Juga disebut Kawi (Casparis, 1975:29 dst). Menurut para ahli tipe aksara ini bukan merupakan perkembangan dari Pallawa karena perbedaannya terlalu besar dalam jarak yang begitu singkat. Tulisan Pallawa meiliki ciri-ciri amat khas; kesannya lebih gagah, bergaya, dan berhias ke atas dank e bawah garis tulisan dalam bentuk kuncir (Djafar, 2002:15) atau serif sedangkan, tulisan Kawi atau Jawa Kuno meskipun tidak kurang indahnya terlihat lebih luwes dan sederhana dengan bentuk huruf yang lebih bundar. Carparis memperkirakan bahwa perbedaan gaya antara keduanya disebabkan oleh media yang digunakan. Dalam masa Kawi sastra tulis sudah berkembang dan penulisan diatas lontar sudah menjadi makin lazim sehingga gaya lontar memengaruhi penulisan prasasti.
Disamping jenis ortografi tersebut diatas, ada sejumlah kecil prasati berbahasa sanskerta yang ditulis dengan aksara yang tampaknya berasal dari India Utara sebagai pemula langsung dari huruf Dewanagari (Nagari awal atau Pra-Nagari) yang berkembang di India Utara pada abad ke 11-12 M (Suhadi, 2002: 8).

Aksara Kawi dan tipe tulisan yang serupa tidak hanya ditemukan di Jawa melainkan juga di Nakhon Sri Thammarat (Thailand 775), diantaranya prasasti Ligor yang paling tua. Dalam tahap ini tulisan diwakili oleh prasasti Plumpungan (Salatiga, 750) dan Dinoyo (Malang, 760). Disamping perbedaan bentuk aksara dengan Pallawa akhir, ada beberapa aksara yang mendapat bentuk yang baru (lih. Casparis, 1975: 35 dst). Pengaruh menulis diatas lontar tampak jelas dengan kecenderungan kursif. Prasasti penghibahan tanah dari masa pemerintahan Kayuwangi (856-882) dan Balitung (899-910) ditulis diatas tembaga menggunakan tulisan sederhana namun indah dan rapih.
Aksara Jawa Kuno dari tahap Kawi akhir terutama ditemukan di Jawa timur dan meliputi kurun waktu 925-1250. Jumlahnya cukup banyak sehingga dapat memberi gambaran tentang adanya pemerintahan raja-rajayang berkelanjutan di jaman itu, yaitu Daksa(910), Tulodong (919-921), Wawa (921-929), Sindok (929-947). Prasasti yang terkenal dari zaman Airlangga (1019-1042) yang juga disebut Batu Calcutta dibawa ke sana oleh Rafles dan merupakan yang terpenting diantara prasati yang ditemukan di Jawa, karena menandakan suatu kurun waktu yang menentukan dalam sejarahnya. Meskipun tidak diketahui dengan tepat tempat asalnya, menurut perkiraan Casparis di lereng gunung Pucangan atau Penanggungan arah Barat Daya dari Surabaya (1975:39), tulisannya segi empat sama sisi, namun tak sampai persegi atau kaku. Prasasti menggunakan batu besar dan dihiasi dengan pahatan sederhana.
Selanjutnya kurun kerajaan Kadiri (1100-1220) yang dikenal karena produktivitas para sastrawannya yang menghasilkan gaya tulisan yang menarik yaitu tulisan bujur sangkar gaya Kadiri (Kadiri Quadratic Script) yang terutama bersifat dekoratif dengan aksara yang di ukir besar menonjol serta diterapkan pada prasasti singkat dan diatas pintu masuk gua dan dibelakang arca. Jenis tulisan ini tidak hanya terdapat di Jawa Timur namun juga terdapat di Bali.
Prasati dari kurun waktu kerajaan Majapahit telah mengembangkan tipe tulisan yang khas dengan ciri-ciri tertentu. Di masa itu ditemukan sekitar 50 prasasti batu dan tembaga, yang menurut Casparis tulisannya rapih dan indah, dengan standar kaligrafi yang tinggi (Djafar, 2002: 15).
Setelah ditemukannya prasasti yang berturut diatas terdapat suatu kekosongan yang menandai suatu perpindahan kekuasaan dari Kadiri ke Singasari. Meskipun demikian, dari bentuk tulisannya prasasti kedua periode mirip dan terkesan adanya kontinuitas. Perlu dicatat bahwa dari periode Singasari-Majapahit justru sebagian besar dibuat diatas lempengan tembaga.
Dari Jawa Barat dalam periodenya dikenal prasasti Kawali dan Kabantenan yang ditulis dengan aksara Sunda Kuno yang diperkiraan berinduk pada aksara yang lebih awal didaerah ini, yang sezaman dengan Kawi awal (Djafar, 2002:16). Kira-kira pada zaman itu di Sumatra Tengah digunakan tipe aksara yang terdapat pada beberapa prasasti , diantaranya yang terkenal dari zaman Adityawarman, Raja Malayu. Ada kemiripan besar dengan aksara Majapahit tetapi dengan perbedaan tertentu. Seperti juga tulisan Sunda Kuno, aksara Melayu Kuno tampaknya diturunkan dari tulisan setempat yang lebih tua dan berkembang terpisah dari tulisan Jawa.

Read more

SENI PERTUNJUKAN ZAMAN HINDU-BUDHA

Konsep Dasar Estetika Hindu
Dalam estetika hindu, konsep kuncinya adalah apa yang disebut ‘rasa’. Pengertian pokoknya adalah hadirnya kesesuaian antara bentuk ungkapan baik verbal, visual, ataupun kinetic dengan idea tau tema yang diwakilinya. Dengan melalui ‘saluran’ yang telah disepakati lebih dulu dalam konteks dan budaya yang yang bersangkutan yang telah dikenal bersama.
Dalam seni pertunjukan, seperti halnya dalam seni sastra dan rupa, kaidah-kaidah kesenian hindu memperlihatkan pengaruhnya yang jelas terhadap peninggalan-peninggalannya dimasa hindu-budha seperti dapat dilihat pada berbagai peninggalan budayayang orientasi karya seninya kebanyakan adalah seni keagamaan . namun terlihat juga seperti pada episode Jawa Tengah (abad ke-7 – abad ke-10) ketika kedua agama itu masih memperlihatkan keterpisahannya yang jelas tetapi disisi lain dalam hal teknik dan gaya bangunan beserta seni arca dan hiasnya begitu memperlihatkan kesatuan. Dari fakta ini apat disimpulkan bahwa terjadi pengambilalihan kaidah dari hindu ke budha. Dugaan ini didasari oleh kenyataan bahwa kitab-kitab petunjuk teknis pembuatan sarana-sarana keagamaanyang dikenali hingga kini adalah yang berlatar belakang hindu. Sebagai contoh dapat disebutkan pada berbagai kitab Silpasastra dan Vastuvidya (petunjuk pembuatan bangunan), kitab-kitab agama tentang talamana (mengenai proporsi arca berbagai jenis tokoh), maupun kitab Natyasastra (petunjuk teater dan seni) beserta kitab-kitab komentarnya dan petunjuk puitipika seperti Kavyadarsabeserta komentar-komentarnya. Dan sudah tentunya untuk pengarah simboliknya, berkenaan dengan tema pokoknya dipakai sumber dari agama budha sendiri misalnya mengenai simbolik stupa dan ikonografi budha.

Pada seluruh cabang seni hindu-budha seperti terungkap bahwa terdapat suatu konsep sentral yang mendasari seluruhnya, yaitu konsep ‘rasa’ adalah tujuan pengungkapan si seniman maupun inti dari penyerapan yang dicari oleh penikmat. Rasa itu akan tercapai apabila ada pertemuan antarabentuk yang diungkapkan dan tema suatu karya. Dalam dramatic klasik India dikenal adanya Sembilan rasa yang dilandasi oleh Sembilan bhava (mood, suasana perasaan) adalah sebagai berikut:
Srnggara (cinta)
Bhayanaka (ketakutan)
Hasya (jenaka, tawa)
Bibhatsa (kemuakan)
Soka (kesedihan)
Jugupsa (keheranan)
Raudra (kemarahan)
Santa (ketenangan)
Vira ( semangat)

TEKNIK DAN GAYA

Variasi dan Zaman Wilayah

Zaman hindu-budha dibagi kedalam periode-periode dan juga berkembang dalam cakupan wilayah masing-masing yang mempunyai kekhasan dalam ungkapan budayanya. Semisal dari segi kewilayahan dapat dikategorikan pada Sumatra bagian utara, Sumatra bagian tengah (minang dan riau), Sumatra bagian selatan (jambi-lampung), kalbar, kaltim, Jawa barat, Jawa tengah, jawa timur, Bali, dan Sumbawa.dari segi periodesasi, pembedaan yang memperlihatkan perbedaan ragam ungkapan seni pertunjukan hanyala pada periode jawa tengah yang relief tariannya memperlihatkan cirri teknik india klasik yang kuat, dan jawa timur yang memperlihatkan kesesuaiannya dengan aspek-aspek tertentu dari kaidah seni pertunjukan wayang.
Variasi berdasar golongan social
Seringkali dapat terjelaskan bahwa pertunjukan tertentu dilangsungkan dilingkungan sisoal tertentu (Sedyawati, 1982). Diantaranya terdapat pertunjukan dikalangan rakyat dan dikalangan kaum bangsawan. Dibedakan pula teknik gerak yang diperlihatkan oleh pemain jalanan yang menari diatas tanah dan teknik gerak sesuaikaidah klasik India oleh penari berkostum raya yang menari diantas pentas.

Fungsi seni pertunjukan

Masa hindu-budha meninggalkan sejumlah data mengenai fungsi pertunjukan berupa relief candi, teks prasati, maupun teks karya sastra. Karya sastra pun menyajikan sejumlah penceritaan tentang adanya ungkapan-ungkapan seni pertunjukan dalam jenis-jenis peristiwa tertentu.
Salah satu fungsi nyata dari seni ini adalah sebagai pelengkap upacara contoh pada upacara penetapan sima yang dilakukan didesa dan dilindungi raja, dimana salahsatu bagian penutup dari upacara berupa tarian bersama, berkeliling yang dilakukan oleh para pemuka desa pria dan wanita.
Fungsi lain lagi adalah pelengkap pendidikan, terutama tersirat pada teks-teks susastra tertentu dimana dikatakan bahwa betapa tokoh-tokoh utama cerita khususnya dari kalangan bangsawan pandai menari (Hayam Wuruk, dalam Nagarakertagama), pandai memainkan wayang (Wangbang Wideya), maupun menyanyikan lagu-lagu (putra-putri dalam Smaradahana) yang kesemuaannya itu menyiratkan bahwa kemampuan berekspresi dalam bentuk-bentuk seni pertunjukan itu adalah bagian dari pendidikan bagi seorang yang berkelas social tinggi.
Ada juga sebagai pencarian nafkah dan hiburan semata.
Dalam hal pertunjukan teater tradisi baik di Jawa maupun Bali terlihat pengaruh yang mata kuat dari cerita-cerita epos hindu yakni Mahabarata dan Ramayana. Dalam hal ini pula terlihat kontinuitas yang amat kuatdan bahkan mengalami perkembangan versi. Maka garis kontinuitas dan diskontinuitas itu dapat dilihat dalam relasi antar sumber dalam tiga tahapan prosesual :
Dari local pra-hindu-budha ke masa budaya dengan kejayaan hindu-budha
Dari masa hindu-budha awal ke masa hindu-budha akhir
Dari masa hindu-budha ke masa pasca hindu-budha

Read more