Selamat Datang, Blog Kecil ini hanya berisi coretan-coretan kecil tentang study saya di Jurusan Perbandinan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta

Perkembangan Agama Hindu-Budha antara Abad ke-8 -10 M

artefak peninggalan Majapahit


Hingga saat ini belum ada penjelasan yang memuaskan perihal perkembangan sejarah politik dan kebudayaan setelah keruntuhan Kerajaan Tarumanagara di Jawa bagian barat hingga berdirinya Kerajaan mataram Kuno di Jawa bagian tengah. Berita mengenai perkembangan agama baru di dapatkan dalam uraian prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, sebenarnya telah ada secara samar dapat diketahui pemujaan terhadapa dewa-dewa Hindu Trimurti lewat ungkapan prasati Tuk Mas berasal dari sekitar tahun 700 M. dalam prasati tersebut dinyatakan bahwa terdapat mata air yang jernih  dan dapat menghapus noda dan dosa sebagaimana halnya air sungai gangga. Selain itu pada prasati yang sama juga digambarkan adanya berbagai benda-benda (laksana) yang biasanya dipegang oleh dewa-dewa Trimurti ( Brahma, Visnu dan Siva). Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa Hindu Trimurti telah dikenal oleh penduduk Jawa Kuno masa itu. Sanjaya sebagai raja Mataram pada waktu itu memerintahkan untuk mendirikan lingga dibukit Sthirangga, dengan menyatakan segala pujaan kepada Siva dalam 3 bait, sedangkan bagi Brahma dan Visnu masing-masing hanya dimuliakan 1 bait saja.
Prasasti Canggal ditemukan di Bukit Gunung  Wukir, dipuncak bukit itu sampai sekarang masih terdapat runtuhan bangunan candi Hindu Saiva yang khas Jawa. Runtuhan tersebut memperlihatkan adanya 1 candi induk dengan 3 candi pervara yang dibangun didepannya saling berhadapan. Dengan penataan seperti itu banyak juga dijumpai diwilayah Jawa bagiwn tengah antara lain; Candi Sambisari, Kedulan, Morangan dan Merak.
Pada periode yang bersamaan, di tlatah Jawa Timur pun berdiri Kerajaan Kanjuruhan. Berita ini didapatkan dari satu-satunya prasati yang bertarikh 760 M. prasasti Diyono, ditemukan dekat Candi Badut yang dihubungkan dengan kerajaan ini. Arsitekturnya memang menunjukkan gaya bangunan candi tua. Pada candi Diyono ini dinyatakan bahwa Raja Gajayana yang juga disebut Limwa adalah pengganti Raja Dewasimha. Gajayanamendirikan tempat suci bagi Agastya (salah satu tokoh Sapta-Rsi, murid-murid utama Siva) arcanya yang semula dari kayu cendana diganti dengan arca batu hitam.
Ilustrasi
Terdiri dari 1 candi induk dengan 3 candi Pervara di hadapannya
Dikelilingi oleh pagar dan candi induk berada ditengah halaman
Pagara keliling dapat lebih dari satu lapis


Perkembangan agama Budha diwilayah Jawa tengah berdasarkan bukti-bukti tertulisnya dari prasasti Kalasan 700 Saka/ 778 M.  dalam prasati itu diuraikan adanya pemujaan terhadap sakti Budha, yaitu Tara, dan didirikan bangunan suci khusus untuk memukanya yang dinamakan Tarabhavanam.
Antara abad ke-8 – 10 M, agama budha didirikan untuk memuliakan Panca Tathagata dan juga Dhyani Bhoddhisattva lainnya. Candi Borobudur (Panca Tathagata sebagai dewata yang dimuliakan, sebab di candi tersebut digambarkan kelima wujud Tathagata dan peletakkannya yang sesuai dengan arah mata angin), Pawon, dan Mendut (yang terdapat 3 arca monolit yang menggambarkan tokoh Sidarta Gautama yang diapit oleh  Dhyani Bhoddhisattva  Avalokitesvara di kanan dan Dhyani Bhoddhisattva Vajrapani dikirinya dan dalam bilik candi terdapat banyak relung parsvadewata)dahulu merupakan bangunan suci yang mempunyai latar belakang keagamaan yang sama.
Candi lainnya yang dahulu diduga biliknya diisi oleh arca-arca Panca Tathagata adalah candi Ngawen di Muntilan, terdiri atas bangunan menghadap ke timur. Dibilik candi Ngawen II sekarang, terdapat arca Ratnasambhava yanga kepalanya telah terpenggal. Perkembangan Budha Mahayana juga mengedepankan pemujaan terhadap tokoh Dhyani Bodhisattva Manjusri. Hal ini dapat diketahui melalui prasasti Manjusrigrha 729 M, ditemukan di halaman percandian Sewu. Demikian dapat diketahui bahwa nama asli percandian Sewu adalah Vajrasanamanjusrigrha tokoh dalam prasasti yang disetarakan dengan Triratna kemudian yang identik dengan trimurti. Selanjutnya muncul pendapat yang menyatakan bahwa pada abad ke-18 M uapaya “koalisi” antar agama Budha Mahayana dan Hindu-Saiva sebenarnya sudah terlihat, upaya itu kemudian jelas terlihat pada periode berikutnya terutama era Majapahit dan Singasari.
Dalam periode yang hamper bersamaan dengan pembangunan candi d wilayah Jawa Tengah, mungkin disusun pula kitab Jawa Kuno yang berisikan ajaran keagamaan Budha Mahayana; Sanghyang Kamahayanikan (SHK) uraiannya berkesesuaian dengan penggambaran arsitektur, relief, dan arca-arca di candi Borobudur terutama tercermin pada bagian kaki candi tertutup yang dihias dengan pahatan relief cerita Mahakarmavibhangga ajaran yang sama juga tertera pada bagian tubuhcandi (tingkat I-VI) yang dipahatkan beberapa relief cerita yang berasal dari sutra-sutra tertentu; Avadana, Jatakamala dan Lalitavistara . di candi ini juga dapat dikenali adanya visualisasi dari ajaran Yogacara(sebagaimana yang tertera pada SHK) dalam bentuk relief cerita Gandavyuha dan Bhadracari yang terpahat di dinding candi dan pagar langkan (balustrade). Ajaran aliran filsafat Yogacara tersebut sangat terletak pada posisi yang penting, karena pada prinsipnya ajaran ini menonjolkan praktik yoga untuk memperoleh pengetahuan tertinggi (jnana)yang merupakan pembuka jalan untuk mencapai kebudhaan. Reliefnya mengambil narasi dari perjalanan dalam pengembaraan Sudhana dalam melakukan yoga dibawah bimbingan Samantabhadra yang pada akhirnya berhasil mencapai pengetahuan dan kebenaran tertinggi (Magetsari 2000: 44)  
Perkembangan agama budha antara abad ke-10 -12 M sangat terbatas datanya, suatu temuan penting didapatkan dari daerah nganjuk, yaitu sejumlah besar arca-arca perunggu kecil yang berasala dari susunan Panteon Vajradhatu-mandala. Ada yang berwujud Tara, Bhoddhisattva, dan juga Tathagata. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa sebelum pemujaan terhadap panteon Budha sebagaimana yang telah dikenal pada masasebelumnya masih tetap berlanjut. Diwiliayah Kediri sampai sekarang masih terdapat adanya goa pertapaan buatan “Goa Selamangleng” dengan ragam hias yang terdapat di dalamnya, goa itu diperkirakan sezaman dengan pemandian kuno Jalatunda ( sekitar akhir abad ke-10 M). di dalamnya juga terdapat ruang yang cukup gelap sehingga sangat mungkin di masa silam goa itu dipakai oleh para bhiksu atau kaum agamawan budha untuk meditasi, napas agama budha diketahui akibat adanya penggambaran relief tinggi (achala) tokoh Tathagata Amitabha pada salah satu ruangannya.
Perkembangan agama budha Mahayana dalam masa selanjutnya pada zaman Dharmawangsa Tguh, Airlangga, hingga era kerajaa-kerajaan Janggala dan Panjalu(Kadiri), masih belum dapat di ketahui secara baik, karena selain data arkeologi yang terbatas dan sumber-sumber tertulis yang dapat membantu mengungkpakan perkara itu juga terbatas pula. Kemudian baru didapatkan kembali saat zaman kerajaan Singasari dan Majapahit yang kemudian menggambarkan kembali agama budha .
 
Dikutip dari; Sejarah Kebudayaan Indonesia

Read more

Perkembangan agama Hindu-Budha di Indonesia


Awal sentuhan peradaban India
Berdasarkan  bukti arkeologis  yang ada dapat diketahui bahwa pada sekitar awal Tarikh Masehi manusia penghuni kepulauan Nusantara masih mengembangkan kebudayaan prasejarah. Pada  masa itu sangat mungkin telah berkembang perundagian, suatu tahapan yang paling maju dalam babakan kebudayaan prasejarah, sebab masyarakat telah mampu menetap diperkampungan-perkampungan yang permanen sesambil mengembangkan kebudayaannya.

Dan dalam era itu pula lah diduga telah datang  para niagawan dari India dan Cina yang berlayar ke tepi-tepi pantai Kepulauan Indonesia untuk melakukan interaksi  dan terjadi kontak budaya antara pendatang dengan pribumi. Namun pada tahap selanjutnya yang banyak diterima oleh pribumi adalah unsur-unsur dari kebudayaan imigran.

Terkemukakan beberapa hipotesis tentang masalah tersebut antara lain yang dinyatakan oleh C.CBerg, J.LMoens, dan Mookerdji yang berperan dalam proses penyebaran unsur kebudayaan India ke Indonesia adalah kaum militer. Mereka dari golongan ksatria datang ke beberapa wilayah Kepulauan Indonesia, kemudian menaklukkan penduduk pribumi dan melakukan perkawinan dengan penduduk setempat kemudian pada akhirnya mendirikan kerajaan-kerajaan awal yang bercorak kebudayaan India.

Pendapat lain dari N.J Krom yang menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan India disebarkan  dikalangan penduduk oleh kaum niagawan dari kasta Vaisya. Merekalah yang paling menonjol dalam proses difusi tersebut, sebab yang paling banyak berinteraksi dengan pribumi melalui system perdagangan barter. Belakangan pun muncul pendapat J.C.Van Leur dan atas dukungan Nilakantha Shastri yang beranggapan bahwa yang sangat berperan pada proses difusi ini adalah kaum agamawan karena bukti-bukti berupa kitab suci yang dikenal dalam kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia, seperti Mahabharata, Ramayana, dan Purana-Purana adalah milik kaum Brahmana yang tidak mungkin dibawa oleh kasta lain.

Bahkan muncul kemudian pendapat dari F.D.K. Bosch yang menyatakan bahwa telah ada arus balik dari Kepulauan Indonesia ke India karena terdapat bukti-bukti bahwa pribumi mendatangi sendiri pusat-pusat pendidikan keagamaan ditanah asalnya, Jambhudvipa. Pada akhirnya para peneliti sejarah kebudayaan Indonesia memilih pada “teori gabungan” yang tak memihak pada salah satu teoris yang pada kesimpulan diakui banyak pihak yang turut membantu terjadinya difusi karena dari kesemuannya golongan, baik dari India maupun pribumi sendiri telah menciptakan suasana damai (penetration pasifique) dalam memasukan dan menerima unsur-unsur kebudayaan India ke Indonesia.

Terdapat tiga anasir yang benar-benar barang baru yang berasal dari kebudayaan India;
  •  Agama Hindu-Budha
  •  Aksara Pallava dan
  • Sistem penghitungan tahun (kalender); Saka

Agama Hindu-Budha merupakan hal yang baru sama sekali, semula dalam bidang religi penduduk kepulauan Nusantara sangat mungkin melaksanakan ritus pemujaan terhadap arwah leluhur (ancestor worship). Berbagai monumen megalitik dan artefak dibeberapa tempat di Indonesia dapat dihubungkan dengan aktivitas terhadap pengagungan arwah leluhur. Dengan datangnya agama Hindu-Budha maka terdapat ajaran baru yang telah menarik pribumi dibeberapa wilayah untuk memeluknya. Dalam perkembangan selanjutnya memang terdapat bukti-bukti yang mengarah pada tafsiran bahwa adanya upaya memadukan ajaran agama Hindu-Budha dengan kepercayaan yang telah dikenal sebelumnya pada masa prasejarah.

Nenek moyang kita pertama kali mengenal tulisan adalah berkat masuknya anasir kebudayaan India ini. Aksara yang pertama kali dipergunakan untuk menuangkan informasi dalam bentuk tertulis adalah Pallava. Bukti-bukti prasasti awal baik dari kerajaan Tarumanegara di Jawa bagian barat dan Kutai Kuno dipedalaman Kalimantan Timur menunjukkan adanya penggunaan aksara pallava dengan bahasa sansekerta. Berkat adanya Pallava ini, nenek moyang kita dapat mendokumentasikan pengalamannya yang dianggap penting dalam berbagai bidang kehidupan.

Adapun system penghitungan tahun dengan kalender Saka yang memunculkan kepandaian, yang semula waktu demi waktu berlalu dan berganti begitu saja tanpa adanya upaya untuk menandainya, menjadi berkembang pada hitungan dan cantuman tahun-tahun dalam berbagai informasi tertulis dapat dipahami oleh mereka.

Dalam tiga hal itulah yang dianggap sebagai pemicu bagi gerak perkembangan kebudayaan selanjutnya yang saling berhubungan seperti sistem pemerintahan kerajaan, pembangunan karya arsitektur, penggubahan karya sastra, dan lainnya.

Agama Veda-Brahmana dan Budha Hinayana
Berdasarkan uraian prasasti dari Kerajaan Tarumanagara dan Kutai Kuno, dapat ditafsirkan bahwa awal sekali yang berkembang bukanlah agama Hindu Trimurti. Uraian prasati-prasati Tarumanagara dan Kutai Kuno jelas menguraikan adanya persembahan bagi para Brahmana dalam bentuk sekawanan sapi dan minyak kental. Dalam prasasti-prasasti Tarumanagara juga disebutkan adanya pemuliaan terhadap dewa-dewa tertentu yang nyatanya belum dapat dianggap sebagai bukti pemujaan terhadap Hindu-Trimurti apalagi Hindu-Saiva.

Dewata yang di seru dalam prasasti Tarumanagara antara lain adalah Visnu, Indra dan samar-samar diseru pula Surya. Semuanya itu tampil berperan sebelum agama Hindun muncul yaitu pada masa religi Veda yang disokong oleh kaum Brahmana. Dengan demikian tafsiran bahwa agama India yang pertama kali di kenal di kalangan pribumi adalah religi Veda melalui ajaran dan peranan para Brahmananya.

Demikian pula halnya dengan agama Budha, berdasarkan sunber-sumber Cina dapat diketahui bahwa pada awalnya agama Budha pesat berkembang di Sriwijaya adalaha Budha dari aliran Hinayana. Para pendeta Cina berkunjung ke Sriwijaya dan Jawa, justru mempelajari kitab-kitab suci Budha Hinayana. Dalam perkembangannya karena suatu sebab yang belum dapat terjelaskan maka masa depannya aliran ini terdesak oleh adanya  perkembangan agama Budha Mahayana. Di Jawa aliran ini mampu mendirikan candi-candi besar yang justru mempengaruhi surutnya Budha Hinayana dari kawasan Nusantara. Secara garis besar perbedaan kedua aliran agama Budha tersebut adalah :




HINAYANA (THERAVADA)
Tujuan akhir pemeluknya : lepas dari samsara,mencapai nirvana
Memuliakan penyerunya Sidharta Gautama
Keanggotaan Sanggha : hanya para Bikshu dan Bikshuni
MAHAYANA
Tujuan akhir pemeluknya : menjadi penolong umat manusia
Mengenal panteon: Dhyani Budha, Dhyani Bhoddhisatva, dewa, dll
Keanggotaan Sangha: seluruh umat, pemeluk Mahayana

Read more

APA ITU NGABEN?



Ngaben[1]
Ngaben selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tak bias ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar- yaitu : berasal dari kata ngabehin, yang artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dan berlebihan orang tidak akan ngaben. Anggapan keliru ini kemudian mentradisi  dan akibatnya para leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.


Dari beberapa penelusuran lontar di Bali, ngaben ternyata tidak selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana antara lain; MitraYadnya, Pranawa, Swasta. Namun terdapat pula berbagai jenis upacara ngaben yang tergolong  besar seperti Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
Pengertian
Pengertian dasar ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asala-usul etimologi itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya bekal atau biaya. Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut dalam lontar adalah atiwa-tiwa, tetapi inipun belum dapat dicari asal-usulnya. Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara jenis ini juga kita jumpai pada suku dayak di Kalimantan, yang disebut tiwah. Sedangkan pada suku dayak itu disebut “tibal” dan untuk umat hindu di pegunungan Tengger itu dikenal dengan nama entas-entas.mkata entas mengingtkan pada upacara pokok dibali yaitu tirtha pangentas yang berfungsi untuk memutuskan kecintaan sang Atma denga badan jasmaninya dan mengantarkan Atma ke alam Pitara.
Dalam bahasa lain yang juga berkonotasi halus, ngaben disebut juga sebagai palebon yag berasal dari kata prathiwi atau tanah, yang menjadikan arti sebagai “menjadikan pratiwi (abu)”. Tempat untau memproses menjadi tanah disebut pemasmian (basmi) dan arealnya disebut sebagai tunon (membakar), kata lain adalah setra (tegal) dan sema “smasana” (durga), dewi durga yang bersthana di tunon ini.
Ngaben adalah upacara penyempurnaan jasad, mengembalikan unsur-unsur yang membentuk tubuh manusia ke asalnya yang dalam agama hindu tubuh manusia itu dibentuk sama dengan alam yang dikenal dengan istilah bhuwana agung (unsure-unsur jagat raya) dan bhuwana alit (unsure-unsur didalam tubuh) yang dalam agama hindu disebut panca maha bhuta yakni ; pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (sang Atma), maka tubuh itu tak ubahnya segabai benda rongsokan ibarat sampah, ia harus segera dihanguskan supaya baur dengan alam semesta. Bahkan dikatakan unsur dalam badan itu bukan saja persis dengan alam, tetapi meminjam unsur alam yang harus dikembalikan jika sang Atma meninggalkan badan kasar. Pengembalian pinjaman itu semakin cepa semakin baik, agar sang Atma yang gentayangan lancar menemukan tempat istirahatnya terakhir di surga atau mungkin di neraka. Jika mayat hanya dikuburkan ditanah, proses penghancuran untuk menyatu dengan tanah berlangsung sangat lama, sementara sang Atma tetap saja berutang dan tentu waswas ketempatnya istirahat. Itulah sebabnya ada ngaben yang dilakukan oleh ahli warisnya. Ngaben juga bukan hanya demi sang roh, tetapi ritus inipun menjadi swadharma sang ahli waris (pretisentana), kewajiban membayar utang. Dalam ajaran hindu bahwa setiap orang berutang kepada orang tua yang melahirkannya. Yaitu utang kama bang ( hormon laki-laki) dan kama putih (hormon perempuan) yang menyebabkan terjadinya kelahiran, dengan ngaben utang pada dua kama itu menjadi lunas. Sebelum melunasi utang (melaksanakan Pitra Yadnya), pretisantana belum berhak menerima warisan.
Tugas pretisantana adalah sampai melinggihkan dan memujanya disanggah kamulan. Hal ini berarti bhawa pelaksanaan Pitra Yadnya leluhurnya terkait dengan hukum pewarisan, seseorang pretisantana akan kehilangan hak warisnya bila ia ninggal kedaton dan tidak melaksanakan kewajibannya.
Ada tiga cara yang ditempuh umat dalam melaksanakan ngaben yaitu nista, madya dan utama. Tingkatan inilah yang kemudian mempengaruhi jalannya upacara,yang membuat besar kecilnya sesajen yang pada akhirnya menyangkut waktu yang disita, orang yang dilibatkan, dan biaya yang dikeluarkan. Tingkatan ngaben ini tidak ada hubungannya dengan kasta tetapi ditentukan oleh keadaan social ekonomi keluarga yang mempunyai hajat.
Ngaben merupakan salah satu dari lima pengorbanan suci, apa yang disebut panca Yadnya. Ia tergolong Pitra Yadnya artinya berkorban untuk para leluhur. Seperti halnya setiap Yadnya (pengorbana suci), seseorang diwajibkan upacaranya sebatas kemampuan dan seberapa jauh sudah menjadi beban.
Untunglah tak ada agama yang sengaja menurunkan aturan yang membuat hidup menjadi susah. Ada petunjuk ngaben secara hemat yang dimuat dalam lontar Yama purwana tatwa dalam seberapa sajen yang perlu dibuat sampai memenuhi kebutuhan minimum, sehingga tidak memakan biaya besar.
Ada beberapa jenis ngaben dalam pelaksanaannya ;
Pitra Yadnya
Sebagaimana telah disebutkan tadi, Pitra “leluhur” dan  Yadnya “korban suci”. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang dilontarkan dalam Yama purwana tattwa tadi.
Pitra Yadnya wajib hukumnya
Berkorban pada leluhur bapak, ibu kakek buyut dan lain-lain yang merupakan garis lurus keatas, yang menurunkan kita. Jenis upacara yang tergolong Pitra Yadnya itu
-          Pemeliharaan ketika masih hidup
Berupa memelihara kesehatan jasmaninya dan menjamin ketenangan serta memuaskan batinnya,  yang dapat ditempuh dengan berbagai macam cara yang salah satunya dengan mengindahkan nasihat dan selalu memohon restu untuk segala tindakan yang akan diambil.
-          Penyelenggaraan upacara setelah kematian
Penyelengaraan upacara untuk jenazahnya dengan proses penyucian Atma untuk dapat kembali pada asalnya seperti halnya ;
-          Membersihkan sawanya (mresihin)
-          Mendem atau ngurug semetara karena suatu hal belum bias diaben
-          Ngaben/atiwa-tiwa
-          Mroras/ mamakur
Upacara-upacara tersebut dinamakan sawa wedhana “penyelengaraan upacara terhadap sawanya yang pokok. Sedangkan upacara mroras adala upacara penyucian rohnya “ Atma wedhana”. Atma yang telah disucikan di sebut DewaPitraPitra yang telah mencapa tingkatan Dewa “SiddhaDewata” dan upacara mroras ini sudah tak lagi tergolong Pitra Yadnya, melainkan sudah masuk pada Dewa Yadnya. Upacara ini adalah ngalinggihan atau nuntun Dewa Hyang, kemudian setelah Dewa Hyang malinggih, setiap enam bulan sekali diadakan upacara ngodalin.
Tujuan dan maksud yang menjadi landasan upacara ngaben terumuskan pada proses kembalinya Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma ke alam dengan memutuskannya dari keterkaitannya dengan ragha sarira yang diwujudkan dengan upacara ngentas sawa dan turtha pangentas.
Pranawa
Aksara om kara, nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai symbol sawa.
Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang, adalah jenis ngaben yang sawanya tidak ada (tasn kneng hinulatan)
Sawa prateka
Jenis ngaben untuk sawa yang baru meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan
Sawa wedhana
Jenis ngaben yag dilakukan untuk sawa yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug)
Asti wedhana
Upacara bagi tulang yang sawanya telah dibakar.

Arti simbolik upakara[2]
1.      Sarana + bebantenan
Dalam upacara pengabenan sederhana juga diperlukan sarana upakara, tetapi tidak begitu banyak sarana upakara dapat berbentuk banten karena sarana upakara yang berfungsi sebagai pembersihan.
2.      Sarana upakara
-          Awak-awakan
Pengganti badan (sarira) dan sang mati yang dibuat khusus untuk mependhem.
-          Tirtha
Tirtha pembersihan
“tirtha yang dibuat oleh pandita untuk membersihkan Sawa yang diabenkan atau akan dipendhem. Tirtha ini akan dipergunakan ketika mresihin sawa atau awak-awakan sawa
Tirtha panglukatan
“ dibuat juga oleh pandita untuk melukat sawa yang akan diaben, dibuat dengan mempergunakan eteh-eteh panglukatan”.
Tirtha pamanah
“Dibuat oleh pendeta dengan mempergunakan panah sebagai sarananya.
Tirtha pangentas”.
“Merupakan unsure pokok dan penentu dari upacara pengabenan dan bagi orang yang mati yang dipendhempun harus memakai tirtha pangentas mependhem”.
-          Papaga
Bale dimana sawa dibersihkan, yang diikat dengan kawat pancadatu yaitu kawat emas, selaka, tembaga dan besi. Papaga ini berfungsi sebagai tumpang salu, dan pelinggihan pitra ketika disamskara.
-          Jempana
Bentuknya seperti kursi yang berfungsu sebagai usngan hasti yang telah direka, serta sekah segabai bagian dari badan yang telah dibakar, kemudian untuk dilarung kelaut atau sungai.
-          Bale pangastryan
Bale yang dibuat dari bambu gadhing bertiang empat beratapkan ilalang, sebagai tempat upacara Hasti wedhana, ngyuyeg galih, ngreka galih dan lainnya.
-          Tatukon pengiriman
Merupakan kelengkapan badan manusia , baan sang mati yang dihubungkan dengan bagian-bagian badan manusia.
-          Ganjaran serta penyertanya
Kulambi pinaka kulit, wangsul sebagai dalamakan kaki, tatopong sebagai lutut, gaganjar sebagai lengan, sangku sebagai kembungan air kemih, ilih sebagai nafas, kotak mata isi, tiga sampir sebagai wat gagending dan table sebagai kepala yang kesemuaannya harus terdapat dalam upacara ngaben sederhana dalam melengkapi ganjaran dan pengikutnya.
-          Kajang
Kain putih yang ditulisi dengan sad dasaksara. Bentuk dan bacakan kajang sesuai dengan panugrahan kawitan yang dimuat dalam prasasti masing-masing yang berfungsi sebagai selimut sekaligus melambangkan kulit tubuhnya.
-          Karab sinom
Kerudung bunga yang dibuat dari ulatan daun rontal, yang gunanya sebagai kerudung.
-          Angkep rai
Kain putih yang beraksara yang dipakai tuk menutupi muka sawa.
-          Pagulungan
Dibuat dengan tikar dan kain putih (kasa) yang bertuliskan Padma dengan aksara walung Kapala (aksara kulit manusia)
-          Lante
Dibuat dari sebitan penjalinan atau rotan yang digulungkan dengan tali ketikung
(perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu) yang dibuat dari penjalin atau bambu.
-          Selepa
Jenis peti mati tahap pertama, biasanya dibuat dari pohon enau dimana pada pusarnya dibuatkan peloncor (tempat pembuangan air-air pembusukan sawa) yang masuk kedalam tanah.
-          Bandusa
Peti mati tahap kedua tempat sawa yang akan dinaikkan ke tumpang salu, guna memdapatkan eteh-eteh pembersihan tahap kedua, kuanapa bhinaseka, tarpana dan lain-lain. Berbentuk cardik halus dan bertuliskan aksara kalepasan.
-          Tumpang salu
Tempat dimana sawa yang ada dalam peti bandusa mendapatkan samskara(penyucian) atau kunapa bhinesaka oleh pendeta.
-          Tatindih
Kain sutra putih Penutup bandusa yang dikerudungkan pada sawa.
-          Wukur
Terbuat dari lepeng menyerupai deling, balung, yang diletakkan pada dada sawa berfungsi sebagai tempat tidurnya roh.
-          Sawa karsian
Bagi sawa yang telah dipendhem
-          Pangrekan
Kumpulan kwangen sebagai symbol padma
-          Adegan (pisang jati)
Perwujudan dari orang matai
-          Angenan
Symbol jantung manusia
-          Sok bekal
Bekal bagi orang yang akan kembali kepada asalnya
-          Lis pering
Sepasang ring yang dibuat dari ron jaka symbol dari bumi dengan isinya diletakkan pada kaki sawa.
-          Kesi-kesi / jemek
Symbol dari atma (preta) diletakkan pada hulu tempat sawa. Di sertai dengan kulambi, mameri, geganjar, sangku, kipas, wangsul, tatopong, kotaktabla, canang, tigasan dan tiga sampir.
-          Iber-iber
Berupa ayam atau burung diterbangkan ketika sawamulai dibakar sebagai symbol perginya atma
-          Tah mabakang-bakang
Sabit yang berfungsi tuk merabas apa yang merintangi kepergian atma.
-          Gender
Gamelan yang memakai laras selendra yang merupakan tanguran tuk mengiringi kepergian atma
-          Penuntun
Terdiri dari tulup yang berfungsi menuntun sang atma
-          Sanggah cucuk dan dammar kurung
Jenis sanggah yang dipakai sebagai persembahan pada buthakala dalam upakara bebantenan
-          Kaki patuk dan dadong sempret
Deling atau purusa pradan sebagai simbolik kama petaka dan kama bang
-          Tragtag
Wadah semacam tangga untuk menaikkan sawa
-          Ubes-ubes
Papecut yang menggunakan bulu merak berfungsi mengarahkan jalannya roh dalam perjalanan
-          Pemanjangan
-          Sekarura
Bunga kwangen bercampur uang kepeng yang ditaburkan sepanjang jalan.
-          Cegceg
Beberapa butir padi yang dimasuki uang kepeng dilatakkan di pinggir jalan yang berfungsi sebagai oleh-oleh atma.
-          Bale gumi
Tempat sawa dibakar yang berundag tiga dengan tanah sebagai lantainya

Upacara[3]
Prosesi tata pelaksanaan upacara ngaben dengan dua proses yaitu sawa prateka dan sawa wedhana. Adapun tahap-tahapnya parteka ;
Pabersihan dengan memandikan, kemudian eteh-eteh, persembahan, narapana,matetangi, samskara atau munggah beya (mlaspas peralatan, kabeji tuk mengambil toya, memanah toya, membersihkan lingkungan, mohon upasaksi, ngaskara adegan, pitra puja, dan mapamit/ sembah), memberikan sekul liwet, upacara kabeji atau narapana, pemasmian atau pembakaran sawa.

Dewasa ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari adanya pengaruh bhuana agung terhadap alam dan kehidupan manusia yang betul-betul diperhatikan oleh setiap umat hindu dalam melakukan suatu usaha terutama dalam upacara yajna (ngaben salah satunya). Pergerakan matahari dari timur ke selatan yang menjadi patokan pesasihan, ada tiga saat dalam pembagiannya;
Angutarayana
Matahari bergerak dari tengah-tengah bulatan bumi, pada saat ini bali menunjukkan sasih ka dasa, dyestha, asada, ka sa, ka rod an ka tiga yang umumnya baik tuk mitra yadnya karena terbukanya pintu alam visnu
Indrayana
Saat matahari berada di tengah-tengah bulatan bumi ketika dating dari utara yang menunjukan sasih ka pat
(terbukanya semua alam dewa saat yang baik tuk dewa yadnya) dan ketika matahari dating dari selatan yang menunjukan sasih ka wulu (baik tuk butha yadnya).
Daksiyana
Saat-saat matahari ada dibulatan selatan bumi yang menunjukan sasih ka lima (baik tuk melakukan dewa dan manusa yadnya sebab terbuka alam dewa dan bhatara), ka enam dan ka pitu (baik tuk butha yadnya) tuk pitra yadnya dan manusa madya).

Ngaben sarat relevansinya masa kini[4]

Ngaben yang sarat diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dan perlengkapan upacara upakara dan memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan penggarap yang besar tentunya. Untuk tercapai tujuannya pretisantana berusaha menggunakan sarana bebantenan dan upacara lainnya dengan semaksimal mungkin untuk pula membuktikan ketulusan bhaktinya dengan mempersembahkan suatu yang megah dan agung dan disamping itu factor pristise dan harga diri juga harus menjadi pertaruhan bagi sang pretisantana sebagai wujud bhaktinya.
Kondisi umat hindu
Masa lalu
Sebelum masa kemerdekaan, umat hindu kondisinya sangat lemah sebagai masyarakat agraris mereka juga berpenghasilan rendah, pemehaman terhadap agama hindu sangatlah rendah dan masih tabu tuk dipelajari. Motto away wera di salah artikan menjadi identik dengan dana yang sangat besar dan tak mengenal ada bentuk ngaben yang sederhana. Maka mereka harang sekali ngaben kalaupun ada hanyalah kaum Mekel, keluarga puri, atau golongan Geria. Sewaktu-waktu mereka ikut dan berinisiatif tuk secara kolektif (ngagalung) yang disponsori oleh banjar (suatu lembaga adat).

Masa sekarang
Telah merasuknya  masa transisi pada industrialism, maka sangatlah mudah kita temukan umat hindu yang ngaben secara sederhana maupun sarat. Kendatipun masyarakat mengalami pergeseran tata nilai, namun akibat bertambahnya pendapatan umat dan tambah pemahaman yang semakin meluas, maka pengabenanpun rutin terlaksana.

Masa datang
Masa era industrialisasi khususnya dalam bidang pariwisata. Maka pertambahan pendapatan dan pemahaman dalam ajaran umat hindu semakin meningkat, dan pada akihrnya umat tidak segan lagi tuk melakukan upacara yajna untuk jenis apapun dan sesuai dengan sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Landasan filosofis
telah banyak diuraikan pengertian tentang ngaben ini, namun pada landasan pokoknya adalah lima kerangka agama yang disebut sebagai panca sradha antara lain :
Ketuhanan Brahman
Brahman merupakan asal mula terciptanya alam semesta beserta isinya dan merupakan tujuan akhirnya semua yang tercipta.
Atman
Keyakinan pada atma yang ada pada masing-masing badan manusia dan merupakan serpihan kecil na suci dari Brahman. maka setelah tiba waktu kembalinya ia harus disucikan pula dengan upacara.
Karma
Manusia hidup tidak lepas dari kerja, atas dorongan sukma sarira (budi, manah, indra dan aharalagawa) yang pada setiapnya akan berpahala. Kerja yang baik (subha karma) akan berpahala baik pula dan sebaliknya asubha karma akan menerima timpaan yang buruk pula. Dan pahala ini yang akan menjadi beban atma.
Samsara
Penderitaan yang dirasakan sang atma, maka haruslah melaksanakan upacara untuk melepaskan atma dari samsara ketika kembali pada asalnya.
Moksa
Kebahagiaan abadi yangmenjadi tumpuan harapan semua manusia yang menjadi tujuan utama umat hindu.


[1] Drs. I nyoman Singgin Wikarman “Ngaben” Paramita Surabaya 2002
[2] Ibid hal 2
[3] I Gusti Ketut Kaler “ Ngaben” Yayasan Dharma Naradha 1993
[4] I Nyoman Gustav Ali “ Menggugah Bali “

Read more